Teori Kritis adalah produk dari para pemikir noe-Marxis Jerman yang mulai menyadari keterbatasan teori Marxian klasik dalam memahami perubahan realitas sosial yang makin komplek di era masyarakat modern dan post-modern.
Kendati bertitik tolak dan memperoleh ilham dari Karl Marx, namun perkembangan teori kritis kemudian justru melampaui dan bahkan meninggalkan Marx karena telaahnya yang makin beragam pada seluk-beluk kehidupan masyarakat industrial maju, era kapitalisme akhir, dan bahkan masyarakat post-industrial.
Berbeda dengan masyarakat di era modern yang lebih banyak berkaitan dengan persoalan modal dan produksi, masyarakat yang telah memasuki era post-modern umumnya lebih banyak berkaitan dengan persoalan gaya hidup, konsumsi, produk-produk industri budaya, dan persentuhan mereka dengan teknologi informasi yang makin masif.
Sejak awal kelahirannya, teori kritis telah memancing banyak perdebatan dan memiliki pesona magis yang kuat, tidak hanya di kalangan teoritis ilmu sosial, tetapi juga di kalangan aktivis gerakan sosial.
Teori kritis tidak hanya berkembang melalui serangkaian kritik terhadap pemikir dan tradisi filsafat lain yang berkembang sebelumnya, tetapi teori kritis juga berkembang melalui dialog, kelahirannya berkarakter dialektis sebagaimana metode yang ingin diterapkan dalam memahami fenomena sosial (Jay, 2005:57)
Menurut Kellner (2003: 2) :
“Teori Kritis menawarkan pendekatan multidisipliner-atau lebih tepat disebut pendekatan supradisipliner-untuk teori sosial yang menggabungkan perspektif-perspektif yang bersumber dari ekonomi politik, sosiologi, teori kebudayaan, filsafat, antropologi, dan sejarah.”
Singkatnya, teori kritik bertujuan untuk mendorong kita melakukan eksplorasi refleksi diri tentang berbagai pengalaman yang kita miliki dan cara di mana kita memandang diri kita, budaya kita, dan dunia (Malpas & Wake (eds.), 2006).
Menurut (Jay, 2005: 115-121) dalam bukunya ada beberapa hal perbedaan teori kritis dengan teori-teori tradisional yaitu :
- Teori kritis menolak memberhalakan pengetahuan sebagai sesuatu yang terpisah dan lebih penting daripada tindakan
- Penelitian ilmiah nir-kepentingan tidak mungkin dilakukan dalam suatu masyarakat dimana anggotanya belum otonom.
- Teori kritis berkeyakinan bahwa penelitian sosial harus selalu berisi komponen historis, bukan sebagai rigiditas peristiwa-peristiwa yang dinilai dalam konteks kekuatan-kekuatan historis objektif, namun lebih melihat mereka dari sudut pandang kemungkinan historis, sehingga penelitian sosial selalu bersifat dialektis.
- Lebih dari sekedar berlogika sebab akibat, teori kritis memahami fenomena sebagai universal sekaligus partikular
- Teori kritis memiliki tujuan perubahan sosial, namun menghindari terjebak dalam pragmatisme.
- Teori kritis berniat menyatukan dirinya dengan semua kekuatan progresif yang berkeinginan untuk menyatakan kebenaran.
- Teori kritis berkonsentrasi pada dua masalah, yaitu :
♦ Struktur dan perkembangan otoritasnya dan
♦ Kemunculan serta pertumbuhan budaya massa.
Di satu sisi, mungkin benar bahwa cara kerja dan implementasi positivisme telah banyak memperoleh pengakuan pada bidang ilmu-ilmu alam, tetapi ketika diterapkan dalam bidang ilmu sosial harus diakui ada sejumlah persoalan dan kemungkinan bias yang timbul (Hardiman, 2003).
- Akibat positivisme terlalu menekankan dimensi observasi dan verifikasi praktik politik, daya dorong positivis ini akhirnya sering kali mempersempit secara tajam ruang analisis empiris. Ketakutan spekulasi menteknikalisasi ilmu sosial, mendorong kepada presisi semu dan studi-studi korelasional yang remeh-temeh.
- Daya dorong positivis juga mengakibatkan surplus energi yang dikerahkan pada inovasi metodologis, dan bukan konseptual, karena yang disebut tantangan ilmiah lebih dipahami sebagai pencapaian bentuk-bentuk yang lebih murni dari ekspresi observasional.
- Persuasi positivis juga melumpuhkan praktik sosiologi untuk berteori. Diakui atau tidak, penerapan positivisme yang terlampau ketat, pada akhirnya akan menyebabkan terjadinya reduksi ilmu pengetahuan, bahkan kematian ilmu pengetahuan itu sendiri yang makin menjauhi realitas sosial.
Berbeda dengan positivisme yang bertujuan memproduksi hukum sosial, dan cederung mengkaji realitas dan masalah sosial semata sebagai imbas atau dampak dari faktor sosial yang lain, dengan ukuran-ukuran amanat yang tertata. Serta berbeda pula dengan perspektif interpretatif yang hanya memahami tindakan sosial pada level makna, maka teori kritis umumnya mencoba memahami realitas sosial sebagai refleksi dari proses dialektika dan resistensi subjektif individu yang tidak berdaya di tengah dominasi kekuatan struktur ekonomi dan represi kultur yang serba menekan ( Ritzer & Goodman, 2008: 301).
Dalam hal ini, paling tidak ada dua fokus utama yang akan menjadi perhatian teoretisi kritis.
- Pada proses represi kultural yang dialami individu dalam perkembangan industri kapitalisme yang mendominasi, ekspolitatif, patriarkis dan lain sebagainya, dan bagaimana individu yang menjadi korban perkembangan situasi tersebut merespons dunia di sekitarnya. Meski teori kritis bertitik tolak dari teori Marxian, namun teori kritis menukar orientasi teori Marxian, namun teori kritis menukar orientasi teori Marxian yang terlalu menekankan arti penting struktur ekonomi dan materialisme menuju ke arah subjektivitas, yakni pemahaman tentang elemen-elemen subjektif kehidupan sosial pada level individu dan level kultural. Salah satu tema pokok yang dikaji teoretikus kritis adalah ideologi, yakni sebuah sistem gagasan yang sering kali palsu dan mengaburkan, yang dihasilkan kelas yang berkuasa (Ritzer & Goodman, 2008: 306).
- Fokus utama teori kritis adalah minatnya pada dialektika, yakni memahami realitas sosial sebagai sebuah totalitas. Dalam pandangan teori kritis, fenomena sosial , tak pelak akan dipahami tidak dalam lingkup yang parsial semata, tetapi fenomena sosial itu niscaya akan dicoba dipahami terkait dengan cakupan historis, dengan struktur sosial yang dipahami sebagai entitas global. Teori kritis menolak fokus yang terlalu spesifik, khususnya sistem ekonomi. Pendekatan teori kritis menaruh perhatian pada kesalingterkaitan berbagai level realitas sosial yang terpenting kesadaran individu, suprastruktur kultural, dan struktur ekonomi.
Aspek | Teori Sosial / Perspektif | ||
Positivistik | Interpretatif | Kritis | |
Tujuan intelektual
|
Memproduksi hukum sosial
|
Memahami tindakan sosial pada level makna yang mengikat manusia
|
Memahami dominasi dan membuka kesempatan masyarakat untuk melakukan perlawanan dan pembebasan
|
Asumsi tentang perubahan sosial
|
Keteraturan dunia sosial sesuai hukum sosial (statis).
|
Ditumbuhkan pada level subjektif dan insubjektif.
|
Adanya hubungan historis pola-pola sosial masa kini, masa lalu, dan masa yang akan datang.
|
Asumsi tentang hakikat manusia
|
Manusia sepenuhnya ditentukan oleh takdir sosial
|
Subjek aktif dan kreatif
|
Kesadaran manusia dapat mengatasi kondisi sosial, karena manusia memiliki kebebasan eksistensial mendasar.
|
Asumsi tentang pengetahuan
|
Pengetahuan merupakan hasil deskripsi fakta aktual yang ada dalam masyarakat sebagai hukum sosial
|
Setiap narasi memiliki nilai kebenaran sebagai representasi penjelasan dan logika hidup manusia
|
Pengetahuan (kritis) dapat mengubah jalannya sejarah bila diterapkan dengan benar.
|
Posisi disipliner
|
Disipliner
|
Disipliner
|
Interdisipliner/supradisipliner
|
Metode
|
Kuantitatif
|
Kualitatif
|
Polivokalitas
|
Tokoh perintis, tokoh pencetus, dan pemikirannya.
|
August Comte (fisika sosial, hukum sosial, kausalitas sosial).
|
Immanuel Kant (makna tindakan).
|
• Karl Marx (historisitas).
•Horkheimer, Adorno, Marcuse, Habermas (mazhab Frankfurt).
•Mary Wollstoncraft dan Kate Milet (feminisme).
•Richard Rorty (posmodernisme, dialog antar-paradigma).
•Stuart Hall (cultural studies, mazhab Birmingham).
|
Dibandingkan perspektif yang lain, kelebihan teori kritis karena perspektif ini bersifat atau indisipliner, dimana tujuan utama teori kritis adalah penggunaan sistematik semua disiplin riset keilmuan sosial demi mengembangkan sebuah teori yang komprehensif tentang masyarakat. Teori kritis, dalam praktiknya biasanya akan menggabungkan pendekatan ekonomi politik, psikologi sosial dan teori budaya, sehingga dapat diperoleh penjelasan yang benar-benar lengkap dan kontekstual (Axel Honneth, dalam: Giddens & Turner, 2008:605-656). Perspektif teori kritis pada dasarnya memfokuskan perhatian pada sifat kapitalisme dan dominasi yang terus berubah, termasuk ketika kapitalisme mewujudkan dirinya ke dalam berbagai bentuk, mulai dari industri pabrikan, industri makanan cept saji, industri fashion, musik, dan industri budaya komersial lain (Denzin & Lincoln, 2009: 171-172).
Dalam penelitian perspektif kritis, term yang digunakan bukanlah validitas sebagaimana banyak digunakan dalam perspektif positivistik, melainkan kepercayaan. Adapun kriteria yang digunakan untuk menilai ketepercayaan dalam penelitian yang menerapkan perspektif teori kritis, antara laian :- Dengan memperhatikan kredibilitas dari gambaran realitas yang dikonstruksi. Penelitian kritis cenderung menolak gagasan tentang validitas internal yang didasarkan pada asumsi adanya realitas yang dapat diindra, dapat diketahui, dan bersifat sebab akibat dan bahwa deskripsi penelitian mampu melukiskan realitas secara akurat.
- Dengan akomodasi antisipatif (anticipatory accomodation). Yaitu menolak gagasan tradisional tentang validitas eksternal sebagaimana lazim dilakukan perspektif positivistik untuk menyusun generalisasi (Denzin & Lincoln, 2009: 189).
Menurut Denzin dan Lincoln (1997), dalam perspektif teori kritis kontemporer, saat ini paling tidak telah lahir empat mazhab baru di bidang penelitian sosial, yaitu :
- tradisi teori kritis neo-Marxis yang dihubungkan paling dekat dengan karya Horkheirmer, Adorno dan Marcuse;
- tulisan-tulisan genealgonis Michel Foucault;
- praktik-praktik dekonstruksi post-strukturalis yang dikaitkan dengan Derrida; dan
- aliran-aliran post-modernis yang dihubungkan dengan Derrida, Foucault, Lyotard, Ebert dan teoretisi post-modern yang lain. Di luar empat mazhab baru penelitian sosial teori kritis ini, etnografi kritis juga disebut-sebut sebagai bagian dari perspektif teori kritis-meski dengan cara dan tingkatan yang berbeda-beda (Denzin & Lincoln, 2009: 173).
Fokus perhatian Franfurt School adalah pada sifat kapitalisme yang terus berubah, terutama bentuk-bentuk dominasi yang menyertai perubahan tersebut.
Di bawah kepemimpinan direktur pertama Frankfurt School. Carl Grunberg, institut yang kemudian dikenal sebagai pencetus aliran atau mazhab Frankfurt tersebut semula aktif mengadakan kajian-kajian empiris, historis, dan yang berorientasi pada pemecahan masalah atas gerakan kelas pekerja eropa. Namun pada awal perkembangannya Frankfurt School belum mengembangkan teorinya sendiri, dan sekadar meminjam konsep serta teori dari Karl Korsc, George Lukacs, dan tokoh-tokoh lainnya yang termuat dalam jurnal Archiv fur die Geschichte des Sozialismus und der Arbeiterbewegung (Kuper & Kuper, 2000: 373).
Tahap | Perkembangan Kegiatan dan Pemikiran |
Pertama | Studi-studi empiris di era kepemimpinan Grunberg |
Kedua | Munculnya teori sosial interdisipliner materialis di bawah kepemimpinan Horkheimer |
Ketiga | Munculnya teori kritis sosial selama institut ini berada pada pengungsian antara tahun 1937 hingga awal tahun 1940-an |
Keempat | Menyebarnya para anggota Frankfurt School ke berbagai negara di tahun 1940-an |
Kelima | Kembalinya Frankfurt School ke Jerman selama tahun 1950-an dan 1960-an. |
Keenam | Perumusan teori kritis oleh Fromm, Lowenthal, Marcuse dan tokoh-tokoh lainnya yang tetap bermukim di Amerika, yang ternyata berbeda dengan pemikiran rekan mereka yang kembali ke Jerman. |
Ketujuh | Berlanjutnya perkembangan proyek Frankfurt School di bawah tokoh-tokoh baru, seperti Habermas, Oskar Negt, Alfred Schmidi di tahun 1970-an dan 1980-an. Beberapa tema yang semula tidak dikaji di era Horl, heimer, justru memperoleh tempat utama di era Habermas, seperti isu tentang hermeneutik dan analisis linguistik |
Kedelapan | Munculnya teoritisi kritis generasi baru yang aktif di dunia akademik di Eropa dan Amerika. |
Sumber : Diolah dari Kata Pengantar Frans Magnis Suseno, dalam buku Sindhunata, 1983.
Aspek Perbandingan
|
Karl Marx
|
Max Horkheimer
|
Tenaga produktif utama
|
Modal
|
Teknik dan ilmu pengetahuan
|
Penindasan manusia pada masyarakat kapitalis
|
Penindasan kaum kapitalis terhadap kaum pekerja
|
Penindasan dilakukan terhadap semua oleh sistem produksi yang sangat ditetukan teknologi
|
Asumsi mengenai posisi kaum proletar dalam revolusi
|
Subjek
|
Tidak lagi menjadi subjek revolusi
|
Arti penting revolusi
|
Menciptakan masyarakat yang ideal
|
Mengembalikan keadaan semula yakni masyarakat penuh penindasan
|
Sasaran kritik
|
Teori ekonomi kapitalis
|
Kebudayaan teknokratis
|
Determinisme suprastruktur
|
Menentukan kesadaran manusia
|
Tidak lagi menentukan Tekanannya pada fungsi primer kesadaran dalam rangka emansipasi
|
Visi teori
|
Masyarakat yang tidak ada lagi kelas
|
Masyarakat emansipatoris
|
Sumber : Diolah dari Kata Pengantar Frans Magnis Suseno, dalam buku Shindhunata, 1983.
Teoretisi | Kata Kunci/Teori | Fokus Kajian | Penjelasan Teoritis yang Dihasilkan |
Franz Neumann & Otto Kircheimer | Ekonomi monopolistik totalitarian, kompromi rentan (Iragile compromise). | Fokus pada kajian teori hukum dan negara, khususnya integrasi politis masyarakat kapitalis maju dan perubahan konstitusional resmi yang mengiringi perubahan struktur ekonomi kapitalis. | • Fasisme tidak pernah menghilangkan hukum fungsional pasar kapitalis •Tatanan konstitusional masyarakat hukum selalu menjadi pengekspresian kompromi umum atau konsensus bersama di antara kekuatan politik yang ada. |
Walter Benjamin | Teknikalisasi, imajinasi piktorial, imajinasi kolektif. | Fokus efek baru budaya massa modern pada isu teori sastra dan budaya. | •Berbeda dengan Adorno yang menyatakan teknikalisasi menyebabkan pendeestetisan seni. Benjamin menyatakan seni yang mengalami teknikalisasi malah sebagai peluang terbesar bagi bentuk-bentuk baru perspektif kolektif. •Pengalaman masyarakat bukan hanya perepresentasian imperatif-imperatif fungsional masyarakat saja, melainkan juga berisi ekspresi independen bagi pengembangan imajinasi kolektif. |
Erich Fromm | Insting sosial, kepatuhan dinamis. | Fokus pada kepribadian kaum borjuasi | •Proses sosialisasi senantiasa dirembesi impuls-impuls instingtual dan insting sosial untuk kebutuhan pemeliharaan diri. Adapun pembentukan kepribadian yang unik secara historis terjadi lewat medium interaksi sosial. •Perkembangan ego muncul dari penyatuan antara individualisasi yang meningkat dan sosialisasi yang mengembang. |
Diolah dari tulisan Axel Honneth, dalam: Anthony Giddens & Jonathan Turner, 2008.
Jurgen Habermas : Generasi Kedua Frankfurt School
Secara garis besar, kiprah Frankfurt School dapat dibedakan ke dalam dua generasi yang berbeda. Jika Marx Horkheimer, Theodor W. Adorno (1903-1969), dan Herbert Marcuse (1098-1979) adalah tokoh generasi pertama, maka Jurgen Habermas adalah tokoh penting yang membangun teori kritis di kalangan generasi kedua (Susilo, 2008: 130).
Jurgen Habermas bergabung dengan Institut Penelitian Sosial di Universitas Frankfurt, yang didirikan kembali oleh Horkheimer dan Adorno, pada dekade pasca-Perang Dunia II setelah mereka kembali ke Jerman.
Ciri dan Sumbangan Teori Kritis
Menurut Agger (2003: 7-10) ada beberapa kesamaan dan ciri umum yang menjadi karakteristik dan kekhasan teori kritis, yaitu :
- Teori sosial kritis umumnya berlawanan dengan positivisme. Teori sosial kritis beranggapan pengetahuan bukan semata-mata refleksi atas dunia statis di luar sana, tetapi konstruki aktif oleh ilmuan dan teori yang berasumsi sehingga tidak sepenuhnya bebas nilai. Teori sosial kritis tidak menjelaskan hukum alam masyarakat, tetapi memercayai bahwa masyarakat ditandai oleh historisitas (terus mengalami perubahan).
- Teori sosial kritis membedakan masa lalu dan masa kini, yang secara umum ditandai dominasi, ekspolitasi, dan penindasan. Masa depan akan meluruhkan fenomena ini. Teori sosial kritis menghubungkan masa lalu, masa kini, dan mas depan dengan pandangan bahwa potensi masa depan yang lebih baik ada di masa lalu dan masa kini.
- Teori sosial kritis berpandangan bahwa dominasi bersifat struktural; kehidupan masyarakat sehari-hari dipengaruhi oleh institusi sosial yang lebih besar, seperti politik, ekonomi, budaya, wacana-wacana (discourses), gender, dan ras. Teori sosial kritis mengungkapkan struktur itu untuk membantu masyarakat dalam memahami akar global dan rasional penindasan yang dialami.
- Teori sosial kritis berkeyakinan bahwa struktur dominasi direproduksi melalui kesadaran palsu manusia, dilanggengkan oleh ideologi (Marxl, reifikasi (Lukacs), hegemoni (Gramsci), pemikiran satu dimensi (Marcuse), dan metafisika keberadaan (Derrida). Kesadaran palsu dipelihara oleh positivistik sebagai entitas yang dikenalkan hukum kaku, sehingga orang senantiasa dikontruksi atau diajak berfikir bahwa perilaku yang beralasan berkaitan dengan pola keajekan ini. Teori sosial kritis mematahkan kesadaran palsu dengan meyakini adanya kuasa manusia, baik pribadi maupun kolektif untuk mengubah masyarakat.
- Teori sosial kritis berkeyakinan bahwa perubahan sosial dimulai dari rumah, pada kehidupan sehari-hari manusia, misalkan seksualitas, peran keluarga, dan tempat kerja. Teori sosial kritis menghindari determinisme dan mendukung volunterisme.
- Mengikuti pemikiran Marx, teori sosial kritis menggambarkan hubungan antara struktur dan manusia secara dialektis. Meskipun struktur mengkondisikan pengalaman sehari-hari, pengetahuan tentang struktur dapat membantu masyarakat mengubah kondisi sosialnya. Teori sosial kritis membangun jembatan dialektis ini dengan menolak determinisme ekonomi.
- Dengan mengaitkan kehidupan sehari-hari masyarakat dengan struktural sosial skala besar, teori sosial kritis berlawanan dengan pernyataan bahwa kemajuan akhir terletak pada ujung jalan panjang yang hanya dapat dilewati dengan mengorbankan kebebasan dan hidup manusia. Teori sosial kritis berkeyakinan bahwa manusia bertanggung jawab sepenuhnya atas kebebasan mereka sendiri serta mencegah penindasan sesamanya atas nama masa depan kebebasan jangka panjang. Teori sosial kritis menolak pragmatisme revolusioner, dengan pernyataan bahwa diktator proletar atau kelompok garis depan elitis yang lain akan dengan cepat menjadi diktator atas kaum proletar. Kebebasan tidak dapat diraih melaui pengorbanan pragmatis kebebasan dan kehidupan.
Kelemahan Fundamental
Secara lebih tegas, Srinati (2007) menyatakan bahwa teori kritis dari Mazhab Frankfurt dituding gagal dalam dua hal, Yaitu :
- Kegagalan untuk memberikan bukti empiris atas teorinya, dan
- Penggunaan bahasa yang samar sekaligus tak terpahami untuk mengungkapkan gagasan-gagasannya (Srinati, 2007: 83).
Secara lebih perinci, Agger (2003: 296) telah mencoba merumuskan beberapa kritik yang dilontarkan kepada teori kritis sebagai berikut :
- Teori kritis bersifat nonkuantitatif, sehingga gagal meraih standar metodologis sains.
- Teori kritis dinyatakan bersifat politis, menolak adopsi standar bebas nilai positif; ini adalah sosiologi kursi malas
- Teori kritis tidak memiliki “data”, mempertahankan spekulasi murni;
- Teori sosial positivistik tidak akan menoleransi penteorian teoretisi kritis yang dipolitisasi; dan
- Teori kritis dipandang oleh teori sosial positivistik berada di luar batas, tidak relevan subyektif dan bahkan dinilai bukan merupakan sosiologi sejati.
Perkembangan Teori Kritis Saat Ini :
Ben Agger (2003 : 339-384). Misalnya, saat ini telah mengidentifikasi paling tidak terdapat sebelas tempat di mana teori kritis telah atau dapat diterapkan pada berbagai penelitian empiris, yang berkaitan dengan tema-tema :
- Negara dan kebijakan sosial
- Kontrol sosial
- Budaya pop, analisis wacana dan media massa
- Kajian jender
- Psikologi sosial
- Sosiologi pendidikan
- Gerakan sosial
- Metode penelitian
- Ras dan etnisitas
- Politik dan politik makro; serta
- Pendidikan dan politik kurikulum.
Di luar sebelas bidang ini, adalah tantangan bagi teori sosial kritis untuk merambah lahan riset empiris yang makin variatif dan relevan dengan kebutuhan masyarakat luas, tanpa harus kehilangan kekhasan dan keberpihakannya.